Hidayah Karena Kematian Saudari Tercinta

Sahabat, banyak jalan orang medapatkan hidayah atau mendapatkan jalan kembalinya menuju Allah Subhanahu wata’ala. Ada di antara mereka yang mendapatkan hidayah setelah mendapatkan peringatan-peringatan. Ada juga yang mendapatkan hidayah setelah mereka menerima berbagai macam cobaan atau ujian yang ditimpakan kepada mereka. Ada pun orang yang mendapatkan hidayah dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada orang-orang terdekat yang ada di sisi mereka, sehingga mendapatkan faidah ataupun mereka mendapatkan pelajaran dari apa yang terjadi pada orang yang terdekat di sisi mereka. Berikut ini adalah kisah tentang seseorang yang mendapatkan hidayah karena kematian saudarinya yang tercinta.

Nuroh, saudariku, wajahnya tampak pucat dan kurus sekali, tetapi seperti biasa ia masih membaca Al Quranul Karim. Jika engkau ingin menemuinya, pergilah ke tempat shalat khusus atau musholanya. Disana engkau akan mendapati ia sedang ruku, sujud, atau ia sedang menengadahkan tangannya ke arah langit. Itulah yang dilakukannya setiap pagi, sore, dan di tengah malam hari, seolah tak pernah jenuh. Berbeda dengannya, aku yang adalah saudari kembarnya selalu asik membaca majalah-majalah seni. Tenggelam dengan buku-buku cerita dan hampir tidak pernah beranjak dari depan televisi, bahkan aku sudah identik dengan benda seperti ini. Setiap acara televisi diputar pasti di situ ada aku. Karena kesibukanku ini, banyak kewajiban yang tak bisa ku selesaikan, bahkan aku sampai meninggalkan shalat.

Setelah tiga jam berturut-turut menonton siaran televisi di tengah malam. Aku dikagetkan oleh suara adzan yang berkumandang dari masjid dekat rumahku. Aku pun segera kembali ke tempat tidurku, tetapi Nuroh, saudari kembarku, memanggilku dari musholahnya. Dengan segera aku menghampirinya.

Ku tanyakan ”Ada apa Nuroh?”

”Jangan tidur sebelum shalat Subuh, Saudariku.” Ia mengingatkanku.

”Ah, shalat Subuhkan masih satu jam lagi. Yang baru kita dengarkan baru adzan pertama.”

Begitula ia selalu penuh perhatian kepadaku. Sering member nasehat sampai akhirnya ia terbaring sakit, tergeletak lemah di tempat tidurnya.

”Hana… Hana….” Panggilnya lagi suatu ketika. Aku tak mampu untuk menolaknya. Suara itu begitu jujur dan polos.

”Ada apa Saudariku?”

”Duduklah sebentar”

Aku menurut dan duduk di sisinya. Suasana saat itu sangat hening. Sejenak kemudian Nuroh melantunkan ayat suci Al Quran dengan suaranya yang merdu.

كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

”Tiap-tiap jiwa pasti akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu” [1]

Ia terdiam sebentar, lalu bertanya kepadaku,

”Apa kamu tidak percaya dengan adanya kematian?”

Aku tersentak kaget dengan pertanyaannya, dan kujawab,

”Tentu saja aku percaya Saudariku.”

”Apa kamu tidak percaya… bahwa amalmu kelak akan dihisab Baik yang besar maupun yang kecil?”

”Percaya… Nuroh..  percaya, aku percaya sekali. Tetapi bukankah Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang? Sementara kita masih hidup dan masih bisa memohon ampunan-Nya”

Ia pun tersenyum kemudian berkata,

”Saudariku….. apakah kamu tidak takut mati yang datangnya tiba-tiba itu. Apakah engkau tidak pernah mengalami…  ketika Hindun, teman kita yang lebih muda dari kita, tetapi meninggal duluan karena sebab kecelakaan. Dan pula teman-teman yang telah mendahului kita… Saudariku… kematian itu tidak mengenal umur. Umur bukan ukuran bagi kematian seseorang.”

Aku terdiam, aku menjawabnya dengan penuh ketakutan. Suasana musholanya yang gelap mencekam semakin menambah rasa takut yang menyelimutiku.

”Nuroh… kau tau aku takut dengan gelap. Bagaimana engkau menakuti lagi dengan kematian? Bagaimanakah aku akan tidur malam ini?”

Tampak jiwa asliku yang penakut betul-betul tampak. Kucoba menenangkan diri dan aku berusaha tegar dengan mengalihkan pembicaraan pada tema yang menyenangkan yaitu rencana rekreasi keluarga tahun ini. Aku memancingnya,

”Saudariku, apakah engkau setuju pada liburan tahun ini kita kan berekreasi bersama-sama.”

Nuroh terdiam, kemudian menjawab,

”Tidak… aku tidak akan ikut…, karena barang kali tahun ini aku akan pergi jauh…. ke tempat yang jauh. Yah… mungkin. Umur ada di tangan Allah, Saudariku.”

Suara itu bergetar dan aku pun menangis. Aku ikut hanyut dalam kesedihannya. Sekejap langsung terlintas dalam benakku tentang sakitnya yang sangat ganas. Para dokter di rumah sakit secara rahasia telah mengabarkan hal itu kepada ayah kami. Menurut analisa medis, para dokter sudah tidak sanggup lagi. Dan itu berarti dekatnya dengan kematian Nuroh. Tetapi siapa yang mengabarkan kabar ini kepadanya? Apakah ia merasa sudah datang waktunya sebentar lagi.

”Mengapa termenung Hana? Apa yang engkau renungkan?”, katanya dengan suara agak keras.

”Apakah kau mengira aku katakan ini karena aku sedang sakit?”

”Tidak, Saudariku.”

”Bahkan boleh jadi umurku lebih panjang dari orang-orang sehat.”

”Dan kamu sampai kapan akan bertahan hidup? Mungkin kah dua puluh tahun lagi? Empat puluh tahun lagi? Atau… berapa tahun lagi? Lalu setelah itu apa, Saudariku?”

Dalam kegelapan, tangannya ku raih dan ku genggam dengan erat. Kami memang berbeda. Kita semua pasti akan pergi, entah ke surga atau ke neraka.

”Hana, apakah kamu belum pernah mendengar ayat,

فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ

’Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah sukses’[2], itulah kesuksesan sejati, sampai jumpa besok pagi saudariku. Aku akan istirahat”, katanya sambil menutup nasehatnya. Aku bergegas meninggalkannya menuju kamar. Nasehatnya masih terngiang-ngiang di gendang telingaku. Kata-kata terakhirnya ”semoga Allah memberimu petunjuk, jangan lupa shalat”.

Jam delapan pagi terdengar pintu kamarku diketok dengan keras dari luar. Aku pun menjadi heran dan kaget.  Ada apa ini? Padahal jam segini biasanya aku belum mau bangun, tetapi di luar terdengar suara gaduh. Orang-orang banyak terisak tangis. Aku pun menjadi khawatir.

”Apa yang terjadi? Mungkinkah Nuroh?”, firasatku berbicara.

Dan ternyata benar, Nuroh pingsan. Ayah kami segera melarikannya ke rumah sakit. Tak ada rekreasi tahun ini. Kami semua harus menunggui Nuroh yang sedang sakit. Lama sekali menunggu kabar dari rumah sakit dengan harap-harap cemas.

Tepat pukul satu siang, ayah kami menelepon dari rumah sakit. Ia mengatakan bahwa kami boleh menjenguknya sekarang, dan hendaknya bersegera datang. Kata ibu tampak ayah sangat panik ketika menelepon. Bahkan suara nadanya berbeda dari biasanya. Kami semua terburu-buru. Kami menyuruh supir membawa mobil dengan cepat. Bila jalan yang dilewati biasanya terasa amat dekat saat liburan, kini terasa amat panjang. Panjang dan lama sekali. Jalanan macet yang biasanya aku nanti-nantikan sehingga aku bisa menengok ke kanan dan ke kiri mencuci mataku, kini terasa menyebalkan. Sementara di sampingku, ibu senantiasa berdoa untuk keselamatan Nuroh. Ia bergumam sendirian dengan doanya.

”Ya Allah, dia anakku yang shaleh dan taat. Ia tak pernah menyianyiakan waktunya. Ia begitu rajin beribadah. Ya Allah, rahmati dia.”

Kami pun turun di depan pintu rumah sakit. Kami segera masuk ruangan. Pasien tergeletak di mana-mana. Terdengar suara ririhan dan rintihan. Ada yang baru saja masuk karena kecelakaan mobil. Ada yang matanya buta. Ada yang mengerang keras. Tidak diketahui apakah meraka akan hidup atau akankah mati. Pemandangan yang seolah-olah membuat bulu kudukku merinding. Kami naik tangga menuju lantai atas. Seorang perawat berkata bahwa Nuroh berada di ruangan intensif. Perawat itu menyampaikan bahwa kondisinya baik-baik saja sampai saat ini. Akhirnya ibu pun merasa agak tenang setelah berhhasil melewati masa kritis yang terjadi padanya.

Di depan pintu terpangpang papan peringatan ”Tidak Boleh Masuk Lebih dari Satu Orang” di tengah kerumunan para dokter yang merawat. Dari sebuah jendela kecil yang ada di pintu, aku melihat ke dua bola mata Nuroh sedang memandangiku sementara ibu berdiri di sampingnya. Dua menit kemudian ibu keluar dari ruang perawatan intensif itu dengan tak kuat menahan air matanya. Kini tiba giliranku masuk. Dokter memperingatkan agar aku tak banyak mengajaknya bicara. Aku hanya diberi waktu dua menit.

Aku masuk ke ruangannya. Kutanyakan pertanyaan-pertanyaan,

”Bagaimana keadaammu wahai Saudariku? Apakah semalam engkau baik-baik saja? Apa yang terjadi denganmu Nuroh?”

Dengan berusaha tersenyum ia menjawab,

”Alhamdulillaah, aku sekarang baik-baik saja.”

”Tapi mengapa tanganmu dingin sekali Nuroh? Kenapa?”, aku berusaha menyelidikinya.

Aku duduk di pinggir dipan, lalu kucoba meraba betisnya, tapi ia segera menjauhkannya dari jangkauanku.

”Maaf, aku tak bermaksud mengganggumu, Saudariku.”

Nuroh berkata,

”Tidak apa-apa, aku hanya ingat firman Allah Subhanahu wata ’ala,

وَالْتَفَّتِ السَّاقُ بِالسَّاقِ , إِلَى رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ الْمَسَاقُ

’Dan bertaut betis kiri dan betis kanan, kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dihalau’.”[3]

Dengan suara pelan lagi ia berkata,

”Hana, berdoalah untukku. Mungkin sebentar lagi aku akan menghadapnya. Mungkin aku segera mengawali hari pertamaku dalam kehidupanku di akhirat. Perjalananku amat sangat jauh, tapi bekalku sedikit sekali. Berdoalah untukku saudariku.”

Pertahananku runtuh, air mataku tumpah, aku menangis sejadi-jadinya. Aku terus-menerus menangis sampai keluargaku menghawatirkan keadaanku sebab mereka tidak pernah melihatku menangis seperti itu.

Akhirnya bersamaan dengan tenggelamnya matahari pada hari itu, Nuroh meninggal dunia.

Suasana di rumah kami digayuti duka yang amat dalam. Sungguh mencekam, lalu terpecah oleh tangisan yang mengaharu biru. Sanak tetangga dan kerabat berdatangan berziarah dan bertakziah. Sementara aku tak bisa membedakan lagi siapa-siapa yang datang, tidak pula apa yang mereka percakapkan. Aku tenggelam dengan diriku sendiri.

”Ya Allah, bagaimana dengan diriku. Apa yang bakal terjadi pada diriku jika apa yang dilalui Nuroh terjadi padaku.”

Aku tak kuasa lagi, meski sekedar untuk menangis. Aku ingin memberinya penghormatan terakhir. Aku ingin menghantarkan salam terakhir. Aku ingin mencium keningnya. Kini, tiada yang ku ingat selain satu hal. Aku ingat firman Allah subhanahu wata’ala yang dibacakannya kepadaku menjelang kematiannya,

”Dan bertaut betis kiri dan betis kanan”, kini aku paham kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dihalau adalah tanda bahwa kematian Nuroh sudah dekat.

Aku tidak tahu bahwa ternyata malam itu adalah malam terakhir aku menjumpainya di tempat shalat khususnya. Terbayang kembali saudari kembarku, Nuroh, yang demikian baik kepadaku. Dialah yang senantiasa menghibur kesedihanku. Ikut memahami dan merasakan kegalauanku. Saudari yang selalu mendoakanku agar aku mendapatkan hidayah Allah. Saudari yang senantiasa mengalirkan air mata pada tiap-tiap pertengahan malam, yang selalu menasehatiku tentang kematian.

”Ya Allah, malam ini adalah malam pertama bagi Nuroh di kuburnya. Ya Allah, rahmatilah ia. Ya Allah ini adalah mushaf Al Quran Nuroh, ini sajadahnya, dan ini adalah baju, baju yang katanya bakal dipakainya pada saat pernikahannya nanti.”

Aku menangisi hari-hariku yang telah berlalu dengan kesia-siaan. Aku menangis terus-menerus tak bisa berhenti. Aku berdoa kepada Allah semoga Dia merahmatiku dan menerima taubatku. Aku mendoakan Nuroh supaya mendapatkan ketenangan dan keteguhan di kuburnya sebagaimana ia suka dan sering mendoakanku. Tiba-tiba aku tersentak dengan pikiranku sendiri. Apa yang terjadi jika yang meninggal adalah aku. Lalu bagaimana dengan kesudahanku. Aku tak berani mencari jawabannya. Ketakutanku memuncak. Aku menangis, menangis lebih keras lagi.

Adzan fajar pun berkumandang. Tetapi aduhai, alangkah merdunya suara panggilan itu kali ini. Aku merasakan kedamaian dan ketentraman yang mendalam. Aku menjawab suara muadzin lalu segera aku hamparkan lipatan sajadah. Selanjutnya aku shalat subuh. Aku shalat seperti orang-orang yang hendak berpisah selama-lamanya. Shalat yang pernah kusaksikan terakhir kali dari saudari kembarku, Nuroh. Jika datang waktu pagi, aku tidak akan menunggu waktu sore. Dan jika tiba waktu sore, aku tidak akan menunggu waktu pagi.

”Ya Allah terimalah taubatku”


[1] Al Quran Surat Ali ‘Imran ayat 185

[2] Al Quran Surat Ali ‘Imran ayat 185

[3] QS. Al Qiyaamah (75): 29

Satu respons untuk “Hidayah Karena Kematian Saudari Tercinta

  1. fikar berkata:

    subhanallah….luar biasa kisah ini.
    bgt menggugat hati..
    dimana kita liat masa skrg manusia sdh lupa akan kematian ,tapi saudari ini malah karena mengigat kematian dia bgt kuat iman nya.

Tinggalkan komentar